Hujan Tak Datang Diharapkan, Hujan Datang Dikeluhkan
Oleh: Muhammad Mahrus Ali. Email: muh.mahrusf7@gmail.com
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warohmatullohi
wabarokatuh
Segala puji bagi Allah SWT. Yang
menjadikan hambanya memperoleh petunjuk sebagai penasehat bagi dirinya sendiri.
Sholawat salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW selaku penuntun
umatnya ke jalan yang benar.
Ini adalah tulisan sederhana yang
diharapkan nantinya dapat menjadikan diri kita lebih baik lagi pada hari esok, baik
dalam berperi kehidupan maupun dalam beribadah. Hingga nantinya dapat
melaksanakan hablu minallah, hablu minan nas dan hablu minal alam.
Pendahuluan
Sudah lama sekali hujan tak kunjung
datang hingga banyak terjadi kekeringan, pada tahun ini hujan mulai turun di
akhir bulan oktober langsung dengan intensitas yang cukup tinggi. Hingga
dibeberapa daerah terjadi bencana banjir, padahal sebelumnya tidak pernah
terjadi kebanjiran.
Perlu kiranya adanya penyejuk hati
sehingga perbuatan yang tidak kurang pas dapat diluruskan dengan pendekatan
religius. Dalam hal ini akan dikupas terkait dengan dibalik musibah turunnya
hujan dengan judul Hujan Tak Datang
Diharapkan, Hujan Datang Dikeluhkan. Yang menjadi permasalahan
adalah, apakah banjir ini salahnya turun hujan? kalau bukan salah turun hujan
lalu salah siapa?
Pembahasan
Pernyataan akhir kalimat pada
Pendahuluan dengan bunyi apakah banjir ini salahnya turun hujan? kalau bukan
salah turun hujan lalu salah siapa?. Sebetulnya itu ungkapan orang yang seolah-olah
bahkan bisa dikatan tidak merasa bahwa ia adalah hamba yang Allah yang lemah,
yang diberi nafsu dan akal namun akalnya seringkali dikalahkan dengan nafsunya.
Sebagai contoh adalah membeli air mineral dengan botol plastik, kemudian
botolnya dibuang kesungan setelah habis airnya. Contoh kedua dengan adanya
penggundulan hutan, dimana resapan dan penahan tanah digung menjadi tidak ada
dan terjadi bencana banjir. Dari kedua kasusu ini s Apakah manusia tidak ingat
dengan ayat bencana yang termaktub dalam QS. Ar-Rum[30]:41 Yang bunyi ayatnya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ
عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
Artinya: Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah
membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum[30]: 41)
Maka benarlah yang dikatakan
sosiolog Muslim Tunisia beliau pengarang buku Almuqaddimah, Ibnu Khaldun (w.
808 H/1406 M) didalam bukunya tertulis bahwa penyakit kronis peradaban ada 3K:
kemewahan, keserakahan, dan kesombongan. Ketiganya berasal dari hubbuddunya
atau cinta dunia yang berlebihan. Sebagai mana di jelaskan dalam kitab hilyatul
auliya:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ
السَّلَامُ: حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَالْمَالُ فِيهِ
دَاءٌ كَثِيرٌ، قِيلَ: يَا رَوْحَ اللهِ: مَا دَاؤُهُ؟ قَالَ: لَا يُؤَدِّي
حَقَّهُ قَالُوا: فَإِنْ أَدَّى حَقَّهُ؟ قَالَ: لَا يَسْلُمُ مِنَ الْفَخْرِ
وَالْخُيَلَاءِ، قَالُوا: فَإِنْ سَلِمَ مِنَ الْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ؟ قَالَ:
يَشْغَلُهُ اسْتِصْلَاحُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ
Artinya: ‘Isa bin Maryam bersabda:
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit
yang sangat banyak.” Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa
penyakit-penyakitnya?” Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.” Mereka berkata: “Jika haknya sudah
ditunaikan?” Beliau menjawab: “Tidak
selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.” Mereka berkata lagi: “Jika
selamat dari bangga dan sombong?” Beliau menjawab: “Memperindah dan
mempermegahnya akan menyibukkan diri dari dzikrullah (mengingat Allah ).”
Sumber: Abu Nu’aim al Ashbahâny (w. 430 H), Hilyatul Awliya wa Thabaqâtul Ashfiyâ’,
Juz 6 hal 338
Untuk
mengobati
keserakahan dan kesombongan manusia sebetulnya dapat di kaji dan di ambil nilai
hikmah dari kata تقوىdimana setiap hurufnya mewakili nilai ajaran
para ulama terdahulu, (ت) = “Tawadhu’”
berarti rendah hati, (ق)
= “Qona’ah” berati merasa cukup, Imam asy-Syafii (w.204 H/820 M) mengatakan
رَأَيتُ القَناعَةَ رَأسُ الغِنى Artinya: saya (imam
Syafi’i) melihat bahwa puncak dari kekayaan seseorang adalah Qana'ah, kalau
dalam istilah Jawa disebut Nrimo ing pandum.
(و) = “Wira’i” berarti menajuhi yang
subhat (tidak jelas status halal/haramnya) apalagi yang jelas keharamannya, (ي) = “Yaqin” berarti yaqin atas
ketetapan Allah SWT., bisa jadi yakin akan rizki Allah yang telah ditetapkan
sesuai dengan
۞
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ ٦
Artinya: Tidak satu pun hewan yang
bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui
tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.350) Semua (tertulis)
dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS. Hud[11]: 6). (Al-Qur’an Terjemah
Kemenag 2019)
Ketika seseorang tidak ada rasa
qona’ah dalam hatinya, maka apapun yang diciptakan Allah keseluruhannya tidak
akan mencukupi apa yang menjadi keinginannya. Ibarat sederhana dapat kita
temukan ketika ada bayi lahir dengan tangan yang menggenggam, namun saat mati
sudah tanggannya terbuka ini bisa diterjemahkan bahwa manusia lahir dengan
membawa keinginan kuat dan saat mati akan melepas apa yang diinginkan dan
didapatkan. Padahal Rasulullah SAW. Sudah menyampaikan dengan haditsnya: لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
HR al-Bukhari No 6.446 di atas dapat
diartikan:
a. Bukanlah kekayaan itu karena
banyak harta, tapi kekayaan itu terletak pada jiwa
b. Tidaklah kekayaan itu diukur dari banyaknya harta, tapi kekayaan itu
terletak pada jiwa
c. Tidaklah kekayaan itu dinilai dari harta, tapi kekayaan itu terletak pada
kekayaan hati
d. Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, akan tetapi kekayaan itu adalah
kekayaan hati
Pada keterangan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa air hujan tidak pernah salah. Justru sebaliknya, air hujan itu
membawa berkah untuk mahluq Allah yang ada dibumi, sebagaimana tertulis didalam
QS. Qaf;9 berbunyi:
وَنَزَّلْنَا مِنَ
السَّمَاۤءِ مَاۤءً مُّبٰرَكًا فَاَنْۢبَتْنَا بِهٖ جَنّٰتٍ وَّحَبَّ الْحَصِيْدِۙ
٩
Artinya: Kami turunkan dari langit
air yang diberkahi, lalu Kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan biji-bijian
yang dapat dipanen. (QS. Qof[50]: 9)
Ayat di atas menjelaskan bahwa air
hujan sangat banyak membawa manfaat dan nilai keberkahan. Salah satu nilai keberkahan
air hujan adalah status kehalalannya. Menurut Imam Al-Ghazzali (w. 505 H/1111
M), tidak ada rezeki atau harta yang paling halal di muka bumi ini selain air
hujan yang turun langsung ke mulut kita.
Perlunya kiranya juga saya ampaikan
adab ketika turun hujan agar kita tidak su’ul adab kepada yang menciptkan hujan,
diantara adab ketika turun hujan adalah:
1. Bersyukur dan berdoa اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً, artinya: Ya Allah, turunkanlah pada
kami hujan yang bermanfaat.
2. Tidak Mencela Hujan, karena hujan
tidaklah ia turun, kecuali atas kehendak Allah Ta`ala. Dan hujan salah satu
dari ciptaan-Nya, maka mencela hujan sama dengan mencela Allah.
3. Mengambil Berkah Air Hujan,
Sebagaimana rasulullah SAW dan para sahabat mengambil berkah pada air hujan.
4. waktu turun hujan adalah Waktu
Mustajab untuk Berdoa, maka perbanyaklah berdoa
Penutup
Dengan adanya kasus bencana banjir
perlu kiranya sebagai manusia kita mengoreksi diri baik secara amaliyah maupun
ubudiyah. kenapa demikian, karena mayoritas bencana yang terjadi saat ini sebab
ulah manusia sendiri. Oleh karena itu, mari kita mulai berbenah dengan amaliyah
yang positif, menjaga hablu minan nas dan habu minal minal alam agar peri
kehidupan terjaga dan memantapkan ubudiyah hablu minallah terjaga sehingga
dapat terhindar dari bencana. Maka dari itu berdoa agar hujan yang turun ini
membawa keberkahan yang tidak diikuti oleh bencana alam, hujan yang menambah
kebaikan yang tidak diikuti dengan kerusakan. Aamiin…
Wallahu a’lam bishowab, al-afwu
minkum
Wassalamu’alaikum warohmatullohi
wabarokatuh
Daftar Pustaka:
Al-Qur’an Dan Terjemah
Abu Nu’aim Al Ashbahâny, Hilyatul
Awliya Wa Thabaqâtul Ashfiyâ’, Juz 6
Https://Umma.Id/Article/Share/Id/1002/277757
Shohih Bukhori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar